DAGELAN UJIAN NASIONAL?
Tata Danamihardja
 Mutu pendidikan di Indonesia tertinggal  jauh. Begitu yang sering kita dengar dalam berbagai perbincangan. Baik itu yang  dilakukan secara formal dalam diskusi-diskusi ilmiah, mau pun sekedar obrolan di  warung kopi. Pendapat-pendapat bernada miring tersebut muncul bukan tanpa  alasan. Mereka yang mengamini pendapat ini mengatakan bahwa hal itu bisa  terlihat dari bertebarannya gelar-gelar yang seringkali tidak sebanding dengan  kualitas sang penyandang gelar. Bahkan - konon - kerapkali mereka menemukan  orang dengan sederet gelar di belakangnya, tanpa pernah diketahui di mana  sebenarnya yang bersangkutan menuntut ilmu. Tudingan jual beli gelar pun  marak.
 Pemerintah, sebagai pihak yang merasa paling  bertanggung jawab dalam hal ini, jelas merasa gerah dengan tudingan-tudingan  miring tersebut. Melalui Dinas Pendidikan Nasional, akhirnya mereka menggolkan  apa yang disebut sebagai ujian nasional. Tujuannya, versi pemerintah, apalagi  kalau bukan untuk meningkatkan kualitas output dunia pendidikan di Indonesia,  dengan membuat semacam standar nasional. Untuk sementara, mata pelajaran yang  dijadikan ujian nasional adalah Matematika, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.  
 Apa lacur, kebijakan baru yang terkesan  buru-buru dan tidak disiapkan secara matang ini berbuntut kisruh. Banyak  keganjilan-keganjilan bahkan keajaiban yang muncul usai dilaksanakannya ujian  nasional ini. Banyak anak yang selalu menjadi ranking pertama di kelasnya,  tiba-tiba harus menghadapi kenyataan tidak lulus ujian nasional yang hanya  terdiri dari tiga mata pelajaran tadi. Ada juga yang sebelum ujian nasional  dilaksanakan sudah berhasil lolos ke sebuah perguruan tinggi negeri, terpaksa  harus gigit jari dan memupus cita-citanya gara-gara tidak lulus ujian nasional  di tingkat SMA. Bahkan ada seorang anak di Jakarta yang sudah mengantongi tiket  untuk kuliah di sebuah perguruan tinggi di luar negeri, akhirnya urung menuntut  ilmu di sana, setelah terpaksa harus menerima kenyataan pahit dirinya tidak  lulus ujian nasional. 
 Jelas ini mengundang kritikan pedas dari  berbagai pihak yang ditujukan kepada pemerintah. Logikanya,  anak yang  berhasil lolos test ke perguruan tinggi - dalam dan luar negeri - tentu bukan  anak yang bodoh, karena jelas-jelas yang bersangkutan sudah berhasil melewati  saringan masuk yang tentunya juga tidak main-main. Demikian juga dengan  anak-anak yang jadi langganan ranking pertama di kelas atau bahkan di  sekolahnya. Dengan kata lain, mereka adalah anak-anak pintar. Masa sih, mereka  kalah oleh teman-teman mereka yang prestasi kesehariannya biasa-biasa  saja?  Maka ketika kemudian mereka terkapar dihajar ujian nasional yang  cuma tiga mata pelajaran ini, orang pun jadi bertanya-tanya. Kalau Peterpan  barangkali bisa bertanya-tanya sambil nyanyi: 'Ada apa denganmu?'  
 Kesan terburu-buru dan tidak siap  terlihat sangat kental dalam persoalan ini. Misalnya, apakah  pemerintah sudah melakukan persiapan yang jelas, jauh hari sebelum ujian  nasional tersebut dilaksanakan? Apakah pemerintah sudah membekali calon peserta  ujian nasional ini dengan materi pembelajaran yang juga standar di semua daerah?  Apakah sosialisasinya sudah dilakukan secara maksimal? Apakah sebelumnya sudah  dilakukan pengkajian yang mendalam oleh para ahli di bidangnya? Apakah sudah  diantisipasi agar tidak terjadi kebocoran soal-soal ujian nasional sehingga  tidak terjadi kecurangan-kecurangan? Apakah ini bukan sekedar proyek 'kejar  target' mengingat ujian nasional ini melibatkan jumlah uang yang tidak sedikit  (sekitar 225 milyar rupiah)? Apakah..?
 Ketika yang menjadi tujuan adalah  peningkatan kualitas, maka rasanya sangat tidak adil jika harus mengorbankan  siswa yang tidak dibekali dengan pembelajaran yang mengarahkan mereka pada  peningkatan kualitas secara menyeluruh. Artinya, yang dikejar toh bukan si anak  harus lulus dengan nilai sekian berdasarkan ujian nasional, melainkan bagaimana  si anak mendapatkan ilmu dengan skala sekian, yang nantinya memang diukur dengan  ujian - lokal atau nasional - setelah melalui proses belajar yang metoda dan  materinya memiliki standar nasional. Jadi sesungguhnya yang harus memiliki  standar nasional itu bukan ujiannya, melainkan justru metoda dan materi  pelajarannya. Penekanannya bukan pada 'hasil', melainkan lebih pada 'proses'.  Sedangkan hasil ujian sesungguhnya hanya merupakan parameter untuk mengukur  tingkat keberhasilan dari proses itu sendiri.
 Yang lucu, sekaligus menyebalkan adalah  tanggapan para pejabat yang terkesan menyepelekan persoalan ini. Wapres  misalnya, dengan enteng mengatakan, "Mereka yang tidak lulus silakan mengikuti  ujian Kejar Paket C." Sepintas tidak ada yang salah dengan pernyataan ini. Namun  diakui atau tidak, pendapat seperti ini sama sekali tidak mempertimbangkan aspek  psikologis yang akan ditanggung siswa yang mengalami kegagalan menempuh ujian  nasional. Bayangkan, setelah tiga tahun berjuang agar bisa bertahan di sekolah  yang memang menjadi dambaannya - katakanlah sekolah favorit - tiba-tiba dia  harus menerima kenyataan menerima ijazah dari sebuah program 'jalan pintas'  Kejar Paket C! Belum lagi kalau yang berangkutan termasuk anak yang selalu  mendapat ranking di kelasnya, tentu beban psikologis yang harus ditanggung si  anak akan lebih berat lagi. 
 Ada pula pejabat yang dengan enteng  mengatakan kalau anak tidak lulus, ya tinggal mengulang saja dan ikut lagi ujian  nasional tahun depan! Lucu..lucu..!! Lebih lucu dari Srimulat. Sayangnya  diungkapkan pada waktu dan tempat yang sangat tidak tepat! Mereka, anak-anak  kita ini mendapat masalah gara-gara kebijakan (tepatnya:  ketidakbijakan) bapak-bapak petinggi yang konon katanya  orang-orang pinter dan bijak. Pantaskah ungkapan-ungkapan yang terkesan  menyederhanakan masalah ini diungkapkan oleh orang-orang pilihan seperti  mereka? Bukankah seyogyanya mereka bisa bersikap seperti seorang bapak yang  mengayomi anaknya dan menunjukkan empati? Apalagi semua kejadian ini adalah  buah dari ulah mereka.. 
 Tapi, paling tidak, ini menjadi bukti bahwa  di tengah keterpurukan, Indonesia masih bisa berusaha menutupi penderitaannya  dengan menampilkan dagelan, meskipun garing dan bikin pengen muntah.  
 Aiihh.... Indonesia, mau ke mana sih  kamu?
    
    
 
	




1 Comments:
Senang membaca tulisan Anda tentang pendidikan di Indonesia ini..
Ternyata masih ada orang yang peduli
Post a Comment
<< Home