BUKA MULUT: DAGELAN UJIAN NASIONAL?

Close

 

Jangan Lupa

DAFTAR AGLOCO DI SINI!

Download Gratis!

FREE AGLOCO EBOOK di SINI!

July 01, 2006

DAGELAN UJIAN NASIONAL?

Tata Danamihardja
 
Mutu pendidikan di Indonesia tertinggal jauh. Begitu yang sering kita dengar dalam berbagai perbincangan. Baik itu yang dilakukan secara formal dalam diskusi-diskusi ilmiah, mau pun sekedar obrolan di warung kopi. Pendapat-pendapat bernada miring tersebut muncul bukan tanpa alasan. Mereka yang mengamini pendapat ini mengatakan bahwa hal itu bisa terlihat dari bertebarannya gelar-gelar yang seringkali tidak sebanding dengan kualitas sang penyandang gelar. Bahkan - konon - kerapkali mereka menemukan orang dengan sederet gelar di belakangnya, tanpa pernah diketahui di mana sebenarnya yang bersangkutan menuntut ilmu. Tudingan jual beli gelar pun marak.
 
Pemerintah, sebagai pihak yang merasa paling bertanggung jawab dalam hal ini, jelas merasa gerah dengan tudingan-tudingan miring tersebut. Melalui Dinas Pendidikan Nasional, akhirnya mereka menggolkan apa yang disebut sebagai ujian nasional. Tujuannya, versi pemerintah, apalagi kalau bukan untuk meningkatkan kualitas output dunia pendidikan di Indonesia, dengan membuat semacam standar nasional. Untuk sementara, mata pelajaran yang dijadikan ujian nasional adalah Matematika, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.
 
Apa lacur, kebijakan baru yang terkesan buru-buru dan tidak disiapkan secara matang ini berbuntut kisruh. Banyak keganjilan-keganjilan bahkan keajaiban yang muncul usai dilaksanakannya ujian nasional ini. Banyak anak yang selalu menjadi ranking pertama di kelasnya, tiba-tiba harus menghadapi kenyataan tidak lulus ujian nasional yang hanya terdiri dari tiga mata pelajaran tadi. Ada juga yang sebelum ujian nasional dilaksanakan sudah berhasil lolos ke sebuah perguruan tinggi negeri, terpaksa harus gigit jari dan memupus cita-citanya gara-gara tidak lulus ujian nasional di tingkat SMA. Bahkan ada seorang anak di Jakarta yang sudah mengantongi tiket untuk kuliah di sebuah perguruan tinggi di luar negeri, akhirnya urung menuntut ilmu di sana, setelah terpaksa harus menerima kenyataan pahit dirinya tidak lulus ujian nasional.
 
Jelas ini mengundang kritikan pedas dari berbagai pihak yang ditujukan kepada pemerintah. Logikanya,  anak yang berhasil lolos test ke perguruan tinggi - dalam dan luar negeri - tentu bukan anak yang bodoh, karena jelas-jelas yang bersangkutan sudah berhasil melewati saringan masuk yang tentunya juga tidak main-main. Demikian juga dengan anak-anak yang jadi langganan ranking pertama di kelas atau bahkan di sekolahnya. Dengan kata lain, mereka adalah anak-anak pintar. Masa sih, mereka kalah oleh teman-teman mereka yang prestasi kesehariannya biasa-biasa saja?  Maka ketika kemudian mereka terkapar dihajar ujian nasional yang cuma tiga mata pelajaran ini, orang pun jadi bertanya-tanya. Kalau Peterpan barangkali bisa bertanya-tanya sambil nyanyi: 'Ada apa denganmu?'
 
Kesan terburu-buru dan tidak siap terlihat sangat kental dalam persoalan ini. Misalnya, apakah pemerintah sudah melakukan persiapan yang jelas, jauh hari sebelum ujian nasional tersebut dilaksanakan? Apakah pemerintah sudah membekali calon peserta ujian nasional ini dengan materi pembelajaran yang juga standar di semua daerah? Apakah sosialisasinya sudah dilakukan secara maksimal? Apakah sebelumnya sudah dilakukan pengkajian yang mendalam oleh para ahli di bidangnya? Apakah sudah diantisipasi agar tidak terjadi kebocoran soal-soal ujian nasional sehingga tidak terjadi kecurangan-kecurangan? Apakah ini bukan sekedar proyek 'kejar target' mengingat ujian nasional ini melibatkan jumlah uang yang tidak sedikit (sekitar 225 milyar rupiah)? Apakah..?
 
Ketika yang menjadi tujuan adalah peningkatan kualitas, maka rasanya sangat tidak adil jika harus mengorbankan siswa yang tidak dibekali dengan pembelajaran yang mengarahkan mereka pada peningkatan kualitas secara menyeluruh. Artinya, yang dikejar toh bukan si anak harus lulus dengan nilai sekian berdasarkan ujian nasional, melainkan bagaimana si anak mendapatkan ilmu dengan skala sekian, yang nantinya memang diukur dengan ujian - lokal atau nasional - setelah melalui proses belajar yang metoda dan materinya memiliki standar nasional. Jadi sesungguhnya yang harus memiliki standar nasional itu bukan ujiannya, melainkan justru metoda dan materi pelajarannya. Penekanannya bukan pada 'hasil', melainkan lebih pada 'proses'. Sedangkan hasil ujian sesungguhnya hanya merupakan parameter untuk mengukur tingkat keberhasilan dari proses itu sendiri.
 
Yang lucu, sekaligus menyebalkan adalah tanggapan para pejabat yang terkesan menyepelekan persoalan ini. Wapres misalnya, dengan enteng mengatakan, "Mereka yang tidak lulus silakan mengikuti ujian Kejar Paket C." Sepintas tidak ada yang salah dengan pernyataan ini. Namun diakui atau tidak, pendapat seperti ini sama sekali tidak mempertimbangkan aspek psikologis yang akan ditanggung siswa yang mengalami kegagalan menempuh ujian nasional. Bayangkan, setelah tiga tahun berjuang agar bisa bertahan di sekolah yang memang menjadi dambaannya - katakanlah sekolah favorit - tiba-tiba dia harus menerima kenyataan menerima ijazah dari sebuah program 'jalan pintas' Kejar Paket C! Belum lagi kalau yang berangkutan termasuk anak yang selalu mendapat ranking di kelasnya, tentu beban psikologis yang harus ditanggung si anak akan lebih berat lagi.
 
Ada pula pejabat yang dengan enteng mengatakan kalau anak tidak lulus, ya tinggal mengulang saja dan ikut lagi ujian nasional tahun depan! Lucu..lucu..!! Lebih lucu dari Srimulat. Sayangnya diungkapkan pada waktu dan tempat yang sangat tidak tepat! Mereka, anak-anak kita ini mendapat masalah gara-gara kebijakan (tepatnya: ketidakbijakan) bapak-bapak petinggi yang konon katanya orang-orang pinter dan bijak. Pantaskah ungkapan-ungkapan yang terkesan menyederhanakan masalah ini diungkapkan oleh orang-orang pilihan seperti mereka? Bukankah seyogyanya mereka bisa bersikap seperti seorang bapak yang mengayomi anaknya dan menunjukkan empati? Apalagi semua kejadian ini adalah buah dari ulah mereka..
 
Tapi, paling tidak, ini menjadi bukti bahwa di tengah keterpurukan, Indonesia masih bisa berusaha menutupi penderitaannya dengan menampilkan dagelan, meskipun garing dan bikin pengen muntah.
 
Aiihh.... Indonesia, mau ke mana sih kamu?


Saatnya mendapatkan hak kita. Surfing dibayar. Referring temen juga dibayar. Daftar GRATIS! Di Agloco, nggak ada biaya tersembunyi. 100% GRATIS!!

1 Comments:

At 6/14/2008 05:22:00 pm, Blogger Katakecil said...

Senang membaca tulisan Anda tentang pendidikan di Indonesia ini..
Ternyata masih ada orang yang peduli

 

Post a Comment

<< Home