Pemimpin Belajar Bicara
Pemimpin memang harus  hati-hati dalam berbicara. Soalnya, yang mendengar bukan cuma satu dua orang,  melainkan banyak. Apalagi jika pemimpin bertaraf nasional, ucapannya akan  dikutip media, dan yang mendengarnya seluruh warga negara  Indonesia.
 Ketika Aburizal Bakrie  mengatakan bahwa banjir Jakarta tidak perlu dibesar-besarkan, maka semua orang  Indonesia mendengarnya. Maka turunlah hujan kecaman. Bukan cuma warga Jakarta  yang merasa tersinggung, tapi juga semua orang yang merasa bahwa ucapan seperti  itu kurang pantas keluar dari mulut seorang pemimpin. 
 Haruskah banjir yang menelan  puluhan nyawa dan dan entah berapa milyar kerugian materi ini dianggap sesuatu  yang biasa? Bukannya memberi semangat kepada mereka yang sedang ditimpa musibah,  ucapan tersebut malah terkesan melecehkan dan menganggap remeh apa yang sedang  dialami oleh sebagian saudara kita, khususnya yang ada di Jakarta.
 Kita tidak tahu apa yang  sesungguhnya melatarbelakangi ucapan yang tidak simpatik tersebut. Namun saya  melihat bahwa persoalannya adalah perbedaan cara pandang serta latar belakang  kehidupan Pak Menteri ini yang memang berbeda dengan kita orang kebanyakan. Dia  mungkin tidak pernah merasakan bagaimana pahitnya mengalami penderitaan. Dalam  bahasa yang lugas, dia tidak pernah merasakan bagaimana menjadi orang miskin  yang dihajar bencana.
 Karena latar belakang yang  berbeda itulah, maka ada yang tidak terasah dalam dirinya: empati. Bagaimana  menghargai perasaan orang lain - apalagi yang sedang ditimpa musibah - itu yang  mungkin tidak pernah - atau tak sempat - dia pelajari. 
 Kalau begitu, apakah seorang  pemimpin memang harus yang pernah menjadi orang miskin? Ah, nggak juga, karena  siapa tahu bekas orang miskin yang jadi pejabat justru akan lebih 'sok kaya'  dari orang yang memang terlahir sebagai orang kaya. Tidak sedikit bukti di  sekitar kita yang menunjukkan betapa banyak orang yang berusaha menutupi masa  lalunya karena takut ketahuan dirinya bekas orang miskin. Jadi, bekas orang  miskin saja tidak menjamin.
 Yang lebih penting adalah  mau belajar untuk menrasakan penderitaan orang miskin, sehingga dengan demikian  bisa lebih menghormati mereka dan lebih beradab dalam bersikap dan berbicara.  
 
 
	




0 Comments:
Post a Comment
<< Home