Sumpah Pemuda dan Semangat Kekinian
oleh: Tata Danamihardja
Pertama. Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea. Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga. Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Begitulah bunyi Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada tanggal 28 Oktober 1928. Aksi monumental ini merupakan wujud kesadaran berbangsa dan bernegara yang mencerminkan keluhuran sikap toleransi berbagai elemen bangsa. Betapa tidak, unsur-unsur kepemudaan yang berangkat dari berbagai latar belakang suku, agama, dan kepentingan menyatukan tekad untuk bernaung dalam satu wadah yang belakangan disebut sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bayangkan, betapa hebatnya manusia-manusia belia saat itu. Mereka mampu mengesampingkan kepentingan-kepentingan pribadi dan golongan demi mencapai tujuan kolektif yang lebih besar. Pertentangan berbagai kepentingan di level bawah diselesaikan dengan cara yang sangat elegan. Jika tidak, mungkin saat ini kita tidak tinggal dalam sebuah negara yang namanya Republik Indonesia.
Sayangnya kearifan tingkat tinggi yang ditorehkan dalam sejarah itu tak lagi diteladani dalam konteks kekinian. Yang terpapar dalam pandangan keseharian kita saat ini justru kebalikannya. Kepentingan pribadi menjadi panglima dengan berlindung di balik tameng hak azasi. Para penyelengara kekuasaan menciptakan wilayah bermain sendiri. Onani politik yang hanya mengejar kepuasan pribadi dan golongan menjadi kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Kita kebingungan mencari teladan yang bisa dijadikan panutan. Kepercayaan terhadap para pemimpin yang bertahta di menara gading melorot drastis hingga ke titik nadir.
Tidak adanya teladan yang patut menjadi panutan berimbas pada cara pandang generasi muda secara general. Mereka teralienasi pada dunia mereka sendiri. Sikap apatis terhadap kondisi di sekitarnya telah menjadikan mereka sibuk memanjakan diri demi pencapaian hasrat hedonis yang ditularkan dari kondisi keseharian yang terserap oleh pikiran bawah sadar mereka. Gaya hidup mewah yang dipertontonkan para pemimpin diam-diam mengerogoti nilai-nilai asali yang mereka anut. Kaya secara lahiriah sudah menjadi obsesi, dan menjadi sesuatu yang wajib dicapai dengan cara apa pun. Jika para pemimpin bisa kaya dengan cara korupsi dan menyelewengkan uang rakyat, kenapa pula mereka tidak bisa meraihnya dengan cara yang kurang lebih sama?
Kondisi yang kita hadapi saat ini sudah sedemikian parahnya sehingga perlu langkah-langkah konkrit untuk membenahinya. Memulai dari diri sendiri adalah cara yang paling rasional. Kembali pada nilai-nilai dan semangat Sumpah Pemuda menjadi sebuah keniscayaan. Merenung, menahan diri, dan mengaplikasikan hasil kontemplasi yang jujur adalah kuncinya. Selalu bertanya pada hati nurani adalah sebuah kearifan yang bisa dilakukan oleh siapa pun, sepanjang ada niat untuk berlaku dan bertindak jujur.
Tapi itu saja sudah barang tentu tidak cukup. Harus ada gerakan moral dan gerakan sosial yang akan mendorong terjadinya proses perbaikan secara massal. Kita tidak membutuhkan gerakan institusional formal yang hanya akan berujung pada sesuatu yang sangat simbolis normatif. Yang kita butuhkan adalah tindakan nyata dari setiap elemen bangsa demi memperbaiki apa yang (diakui atau tidak) sudah rusak. Sejarah bukan cuma kisah yang perlu ditulis dalam buku-buku sejarah. Lebih dari itu, sejarah adalah tempat kita bercermin, sekaligus belajar dari kesalahan masa lalu dan menghidupkan kembali nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
Salam Sumpah Pemuda!
Copyright 2010 - Tata Danamihardja
0 Comments:
Post a Comment
<< Home