Ketika Perda Syariat di Gugat
oleh: Ade Suerani
Perda, Surat Edaran, SK. Bupati dan lain sebagainya yang katanya bernuansa Syariat Islam menjadi perbincangan hangat di berbagai media massa nasional. Isu agama ternyata masih menjadi isu yang "strategis" di kalangan pers.
Saya tertarik dengan perdebatan akan perihal ini di Metro TV tempo hari pada program Today's Dialogue dan Editorial Malam, dan sempat muncul juga di Pro 3 RRI beberapa pekan silam.
Dasar Gugatan
Dapat saya katakan bahwa NAD, Sumbar, Riau, Bengkulu, Cianjur, Tangerang, Pemekasan (Madura), Maros, Bulukumba, Gorontalo adalah wilayah-wilayah yang sedang diributkan oleh orang-orang Jakarta. Bukan karena potensi sumber daya alamnya yang berlimpa yang dipersoalkan, namun karena kebijakan pemerintahan daerah setempat berupa Perda dan lain sebagainya yang katanya beraromakan Syariat Islam. Sungguh sebuah pemahaman yang stereotip, miras dan prostitusi diklasifikasikan sebagai Syariat Islam, padahal semua agama include akan moral itu.
Perda atau apapun jenis keputusan yang dikeluarkan pemerintahan daerah yang bersyariatkan Islam menurut beberapa kalangan - kebanyakan dari kalangan LSM Perempuan dan kelompok pendukung pluralisme - bertentangan dengan UUD '45 dan Peraturan Perundang-undangan lainnya seperti UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, dan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Menurut mereka, hukum positif kita (baca : UUD 1945) adalah bukan hukum Islam, sehingga segala bentuk Peraturan Perundang-undangan yang berhubungan dengan Syariat Islam tidak boleh dibunyikan, katakanlah seperti Perda Baca Tulis Qur'an di Bulukumba atau Perda Papan Nama Arab Melayu di Riau.
Peraturan Perundang-undangan lainnya yang menjadi dasar hukum oleh pihak-pihak yang menggugat Perda adalah urusan agama merupakan kewenangan Pemerintah, bukan Pemerintah Provinsi ataupun Pemerintah Kabupaten/Kota (UU No. 32/2004), sehingga pelaksanaan otonomi daerah kebablasan. Lebih lanjut di kupas tuntas dengan dalih hak asasi manusia berdasar butir-butir di UU No. 39/1999.
Alasan lainnya adalah, NKRI dihuni oleh bukan penduduk yang singular, sehingga sangat tidak berempatinya negara ini jika hanya mengakomodasi kepentingan kaum mayoritas tanpa memperdulikan kepentingan kaum minoritas.
Gugatan dengan berbagai alasan tersebut diatas telah disampaikan kepada DPR RI, Mahkamah Agung, Kepolisian RI, Mahkamah Konstitusi dan DPD.
Analisa Empirik
Jika dasar-dasar diatas dijadikan pijakan hukum pihak-pihak yang menggugat Perda, bagaimana dengan status Otonimi Khusus - Syariat Islam - yang berlaku di NAD? Bukankah perihal ini diakomodir di UUD pasal 18B (Amandemen III) ayat (1) : "Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan
undang-undang" dan ayat (2) : "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang" ?
undang-undang" dan ayat (2) : "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang" ?
Apapun bentuk ke-khusus-an atau ke-istimewa-an yang diinginkan masyarakat di daerah adalah dilegitimasi UUD. Lagipula, aturan dibuat pada dasarnya karena kebutuhan. Jika 91,11 % masyarakat Sulawesi Selatan setuju dengan pemberlakukan syariat Islam (Survei Pemda Sulsel), maka tidak ada alasan Pemerintahan Daerah setempat untuk tidak mengapresiasikan kepentingan minat
masyarakat dalam sebuah legal formal.
masyarakat dalam sebuah legal formal.
Masyarakat di daerah tidak pernah mempersoalkan Perda atau Keputusan Pemerintah Daerah-nya. Alangkah indahnya kalau orang-orang di Jakarta tidak mengintervensi kebijakan Pemda yang justru lebih banyak maslahatnya ketimbang mudharatnya. Kasus yang menimpa Ibu Lia di Tangerang adalah kecil prosentasenya sehingga Perda Kota Tangerang harus ditertibkan. Bulukumba menerbitkan Perda tentang Zakat, justru pendapatan melalui zakat empat hingga lima kali lebih besar dibandingkan pajak. Belum lagi tingkat kriminalitas yang menurun hingga 80% sehubungan dengan Perda Miras dan Perda Amar Ma'aruf Nahi Mungkar oleh Pemprov Sulsel.
Saya yakin aturan-aturan itu telah tumbuh kembang dengan baik di daerah masing-masing. Kalaupun dalam pelaksanaannya diskrimintaf atau salah kaprah, bukan perangkat lunak itu yang mesti kita gugat, tapi para penegak hukum yang tidak becus menjalankan pekerjaannya.
dikutip dari posting Ade Suerani
di milis jurnalisme @ yahoogroups.com
di milis jurnalisme @ yahoogroups.com
1 Comments:
Bung, bgmn dng pemaksaan pemakaian jilbab kpd non-muslim di Padang?
Perda syariat, jelas bertentangan dng UUD 1945 !
Post a Comment
<< Home