BUKA MULUT: Inflasi Media Cetak

Close

 

Jangan Lupa

DAFTAR AGLOCO DI SINI!

Download Gratis!

FREE AGLOCO EBOOK di SINI!

November 23, 2006

Inflasi Media Cetak

Sejatinya, 'sependek' yang saya tahu, inflasi digunakan dalam istilah keuangan. Ketika jumlah uang yang beredar melebihi ambang kebutuhan tertinggi, maka nilai uang akan turun, dan inilah yang disebut inflasi. Bahkan dulu, katanya, pernah terjadi inflasi gila-gilaan di republik ini, sehingga dilakukan pemotongan uang secara fisik, dan nilainya pun dipotong sebanyak 50persen. Jadi uang dengan nilai nominal 1000 rupiah misalnya, dipotong hingga nilai sesungguhnya tinggal 500 rupiah saja.
 
Dari ilustrasi tadi, makna inflasi adalah penurunan nilai gara-gara terlalu banyaknya uang yang beredar. Ternyata kondisi ini bisa berlaku juga untuk hal-hal yang lain, misalnya media cetak. Ketika keran kebebasan mulai dibuka seiring dengan runtuhnya rezim yang katanya orde baru, jumlah media cetak yang ada meningkat tajam secara kuantitas. Ribuan media cetak baru muncul. Ini tidak lain disebabkan semakin mudahnya persyaratan untuk menerbitkan media cetak.
 
Meski demikian, banyak juga yang baru terbit beberapa bulan atau bahkan beberapa minggu, tiba-tiba menghilang tak tentu rimbanya. Ibarat pemburu, maka hanya mereka yang cukup bekalnya sajalah yang akhirnya bisa bertahan. Bekal di sini bukan cuma modal dalam bentuk uang, melainkan juga menyangkut soal SDM dan manajemen.
 
Di satu sisi, melonjaknya jumlah media cetak yang beredar ini cukup membahagiakan, karena dengan demikian pembaca memiliki banyak pilihan sumber informasi. Di sisi lain, kenyataan ini sekaligus menyedihkan, karena ternyata banyak sekali media yang terbit sekedar bermodal nekat. Kenyataan yang kurang lebih sama dengan menjamurnya penyanyi yang asal teriak, asal kenceng,  asal penampilan menor, padahal sama sekali jauh di bawah kualitas standar seorang penyanyi.
 
Saya jadi ingat pengalaman pribadi sekitar tahun 2000. Di koran, ada lowongan untuk wartawan media cetak. Iseng-iseng saya masukkan lamaran ke alamat yang cuma mencantumkan PO BOX. Tak berapa lama saya menerima surat panggilan wawancara. Kali ini ada alamatnya, namun luar biasa susahnya untuk menemukan alamat tersebut. Setelah capek keliling-keliling, akhirnya ketemu. Ternyata 'kantor' media tersebut 'nyempil' diapit oleh bengkel las dan toko obat kuat.
 
Kaget juga, masak sih nggak modal banget? Setahu saya toko-toko kecil di sekitar situ semuanya ngontrak dan bukan milik pribadi. Lagian, maaf, kumuh banget! Tapi ya sudah, tanggung kalau nggak diterusin. Ruangan 'kantor' tersebut berukuran 3x4 meter, disekat dua. Yang satu mungkin dimaksudkan sebagai front office, sementara yang satunya lagi berisi dua meja yang diatasnya masing-masing bertengger satu unit komputer 'tua'. Di 'front office' sudah banyak yang menunggu giliran wawancara.
 
Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya giliran saya diwawancara seseorang yang mengaku pemred dari media 'entah-apa' tersebut. Ngobrol ngalor ngidul, nanya-nanya latar belakang pendidikan saya, latar belakang pekerjaan dan lain sebagainya. Yang membuat saya terkaget-kaget adalah salah satu pernyataan pak 'pemred' ini. Ternyata setiap pelamar diwajibkan menyimpan semacam deposit, kalau saya tidak salah sebesar 300 ribu rupiah. Selain itu, setiap 'wartawan' juga diberi target mendistribusikan (lebih tepatnya 'menjual') sekian eksemplar tabloid tersebut setiap kali terbit. Tidak ada training, semua bisa langsung jadi wartawan!
 
Sialan! Duit darimana coba? Orang nyari kerja itu dimana-mana juga butuh uang. Ini malah setor uang ditambah harus jualan segala. Tapi saya masih penasaran, ingin tahu lebih banyak. Masih dengan muka pura-pura tertarik, saya terus mengorek-ngorek keterangan. Saya ajak Mister Pemred ini ngobrol soal jurnalistik, ternyata nggak nyambung, belepotan. Mungkin merasa tersudut, dia malah ngomong begini, "Pak Tata, melihat latar belakang Pak Tata yang tahu banyak soal jurnalistik (hi..hi, padahal nggak..), saya jamin nama Pak Tata langsung bisa ditaruh di boks redaksi."
 
Wah..wah..wah, hebaat.. hebaat. Tapi saya masih tetep penasaran, siapa sebenarnya orang yang berani mati jadi pemred ini. Akhirnya saya nanya, "Boleh tahu nggak Pak, dulu bapak di media mana?"
 
"Oh, saya di Majalah Anu," jawab Mas Pemred. Jadi tambah penasaran, ini orang bohong apa nggak? Kebetulan saya kenal beberapa orang di majalah tersebut, gara-gara sering ngambil honor tulisan ke situ.
 
"Di redaksi juga? Saya kenal juga orang-orang di situ kok," desak saya.
 
"Eu..oh..mmm...nggak.. saya dibagian sirkulasi," Om pemred tergagap.
 
Busyet! Bagian sirkulasi, sekarang dengan gagahnya menjabat Pemimpin Redaksi. Bukan main!
 
Pokoknya, saya pulang dari situ dengan perasaan gado-gado. Kesel, prihatin, geli, campur aduk. Inflasi, itulah kata yang langsung terbayang di otak saya ketika itu. Dan saat ini, saya berani jamin bahwa tabloid tersebut sudah alamarhum.
 
Tags: ,


Saatnya mendapatkan hak kita. Surfing dibayar. Referring temen juga dibayar. Daftar GRATIS! Di Agloco, nggak ada biaya tersembunyi. 100% GRATIS!!

0 Comments:

Post a Comment

<< Home