Karl May
Anda pernah membaca kisah  petualangan yang salah satu tokohnya adalah Old Shatterhand? Atau Winnetou? Nah,  itu adalah karya Karl May, yang sama sekali tidak ada pertalian darah dengan  Brian May, sang gitaris kelompok Queen. 
  Saya pertamakali berkenalan dengan karya Karl May waktu saya masih SD.  Di rumah, ayah saya kebetulan membuka taman bacaan, dan diantara salah satu  koleksinya adalah buku berjudul Radja Minjak, terbitan Pradnja Paramitha. Meski  pun bacanya langsung jilid 2 (jilid satunya dipinjam dan tidak pernah  dikembalikan), saya menikmati cerita itu. Dan kenikmatan membaca karya-karya  Karl May berlanjut ke judul-judul lainnya semacam Winnetou Ketua Suku Apache, Di  Pelosok-Pelosok Balkan, Mustang Hitam, Di Negeri Skiptar dan lain-lain.
Saya pertamakali berkenalan dengan karya Karl May waktu saya masih SD.  Di rumah, ayah saya kebetulan membuka taman bacaan, dan diantara salah satu  koleksinya adalah buku berjudul Radja Minjak, terbitan Pradnja Paramitha. Meski  pun bacanya langsung jilid 2 (jilid satunya dipinjam dan tidak pernah  dikembalikan), saya menikmati cerita itu. Dan kenikmatan membaca karya-karya  Karl May berlanjut ke judul-judul lainnya semacam Winnetou Ketua Suku Apache, Di  Pelosok-Pelosok Balkan, Mustang Hitam, Di Negeri Skiptar dan lain-lain.  Di rumah, kalau kebetulan  ngumpul dengan kakak-kakak saya, kadang-kadang dialog dalam buku-buku ini  dijadikan bumbu percakapan. Misalnya, ketika saya tidak punya rokok saya  berkata, "Sudikah saudara saya orang kulit putih mengisap pipa peramaian  berama-sama dengan saya?" Apa jawabnya? "Baiklah, saudara saya kulit merah boleh  mengisap pipa perdamaian bersama-sama, tapi cukup satu batang saja, karena jika  lebih dari itu, saya akan merampas totem saudara saya orang kulit merah sehingga  tidak bisa bergabung dengan sesama sukunya di padang perburuan abadi". Maka  setelah 'upacara' itu rokok gratis pun keluar dari saku baju kakak saya, tentu  tanpa perlu menghembuskan asap rokok ke atas, ke bawah, dan ke empat penjuru  angin.  
 Karl May yang terlahir  dengan nama Carl Friedrich May adalah seorang pengarang kelahiran Saxonian,  Jerman, tahun 1842, yang cukup kontroversial. Selain karya-karyanya yang  diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa - termasuk Bahasa Indonesia, Karl May  secara pribadi juga cukup memancing kontroversi. Meski dalam setiap pengantar  bukunya Karl May selalu digambarkan sebagai seorang yang terpelajar dan  benar-benar pernah mengembara ke tempat-tempat yang diceritakan di dalam  bukunya, namun sebuah artikel di majalah Intisari mengungkapkan bahwa Karl May  beberapa kali terlibat kasus kriminal (penipuan) dan bahkan pernah dipenjara.  Namun justru di penjara itulah, Karl May yang terkenal suka berkhayal itu, konon  mengembangkan bakat berkhayalnya dengan menulis cerita-cerita  petualangan.
 Bahkan sebuah artikel lain  di Majalah Tempo mengungkapkan, Karl May sesungguhnya tidak pernah berkunjung ke  tempat-tempat yang menjadi setting kisah-kisah petualangannya. Ia cuma  mengandalkan berbagai literatur dan peta, sebagai buah dari kegemarannya  membaca. Namun jika kita membaca karya-karyanya, kita seolah-olah dibawa  berpetualang dan berkelana ke tempat-tempat yang digunakannya sebagai latar  belakang ceritanya, berkat kepiawaiannya bertutur. Meski demikian, May tak luput  dari kesalahan. Ini ditemukan saat ia mencampuradukkan istilah "haji" dan  "umroh". Juga dalam kata "Giaour" yang menurutnya berarti "kafir" untuk merujuk  orang yang tak beriman atau bukan muslim. Sayangnya, setelah diruntut asal  muasalnya, kata itu berasal dari Turki yang banyak diucapkan orang Arab. Ada  lagi misalnya istilah yang diucapkan Hadschi Halef Omar untuk menyebut  Effendi-nya sebagai Sihdi, padahal seharusnya Sayyid. 
 Penguasaan geografis memang  menjadi kelebihan Karl May, kendati sebagian besar ia hanya mempelajarinya lewat  literatur. Selebihnya, May hanya mengandalkan imajinasinya. Pendekatan ini lebih  banyak dilakukan May saat ia menulis Seri Timur. Ia banyak mengambil dari  catatan perjalanan para penjelajah, yang terutama memasuki wilayah Kurdistan.  Selain itu, May mempunyai ratusan referensi berasal dari jurnal harian,  mingguan, dan bulanan. Tak lupa, May mempelajari Al Quran dan belajar membaca  huruf Arab dan Turki. Pengetahuannya yang luas tentang dunia Islam ditemukan May  dari tulisan-tulsian Barth, Petermann, dan C Snouk Hurgronje. 
 Buat saya pribadi, yang  cukup mengganggu adalah penggambaran tokoh-tokoh beragama Islam dalam seri  Balkan dan Asia. Di situ digambarkan betapa misalnya Halef Omar yang muslim  begitu memuja Sihdi-nya yang Kristen, sampai-sampai beberapa kali ia mengucapkan  bersedia mengorbankan nyawanya untuk sang Sihdi ini. Penggambaran seperti ini  memang tidak lepas dari pemahaman yang berkembang pada masa itu, yang  menggambarkan Islam sebagai pihak yang inferior, bodoh dan terbelakang.  
 Terlepas dari segala  kontroversi dan berbagai kekurangan dalam karya-karyanya, Karl May yang  meninggal 2 Maret 1912 ini tetap merupakan seorang penulis cerita petualangan  jempolan. Penggambarannya yang rinci dan memikat sering secara tak sadar membawa  imajinasi saya untuk ikut bertualang, menggunakan tinju yang sekali pukul bisa  membuat orang pingsan, dan juga menembakkan bedil perak ataupun bedil pembunuh  beruang yang berat milik Old Shatterhand. Buku-buku Karl May tetap dibaca orang  hingga saat ini, bahkan masih terus diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di  dunia. 
 Tata Danamihardja, ketua  suku Buka Mulut sudah berbicara. Howgh!
 
 
	





0 Comments:
Post a Comment
<< Home