KISRUH HASIL TEST CPNS
Kisruh, demo, rumah sakit terlantar, murid terlantar, gara-gara tidak puas dengan hasil test penerimaan CPNS. Itu yang mencuat dan banyak saya baca di koran belakangan ini. Dan ini terjadi di begitu banyak wilayah di seluruh Indonesia. Entah kenapa, rasanya ini sangat mengganggu pikiran. Padahal saya bukan PNS, peserta test CPNS, apalagi panitia penerimaan PNS. Tapi, pemberitaan seputar kekisruhan yang terjadi akhir-akhir ini memang cukup menyita perhatian siapa pun.
Masalahnya terjadi karena banyak pihak yang merasa bahwa proses yang seharusnya berlangsung mulus, ternyata dianggap tidak fair dan menyalahi aturan. Ada yang sudah menjadi tenaga sukarelawan selama belasan bahkan puluhan tahun, ternyata untuk ikut test saja tidak bisa. Padahal sebelumnya beredar kabar bahwa 70% dari keseluruhan jatah formasi PNS yang baru, akan diprioritaskan bagi mereka yang sudah bekerja sebagai tenaga sukarelawan. Ada juga yang ikut test dan ternyata tidak lulus, padahal mereka merasa bahwa kualitas dan dedikasi mereka lebih tinggi dibanding orang-orang yang lolos dan diterima menjadi PNS.
Kalau saja hal ini terjadi hanya di beberapa tempat, dan tidak meluas seperti ini, mungkin kita bisa saja menganggap bahwa ini hanya soal kesalahpahaman atau ketidakmengertian sebagian orang terhadap prosedur yang seharusnya dijalankan. Namun ketika masalah ini terjadi di hampir semua wilayah Indonesia, kita jadi berpikir ulang. Ada apa sebenarnya di balik semua ini?
Kalau saya boleh berpendapat, masalah ini ternyata sangat kompleks, dan penyebabnya lebih bersumber pada masalah mental bangsa yang sudah sangat bobrok. Setiap kesempatan selalu dijadikan ajang untuk memperkaya diri tanpa peduli apakah orang lain teraniaya atau tidak. Ini terjadi di hampir semua kalangan, termasuk di jajaran birokrasi pemerintahan yang seharusnya menjadi teladan, berkaitan dengan fungsinya sebagai pengelola dan penyelenggara negara. Namun yang terpampang di depan mata kita justru sebaliknya. Mereka yang seharusnya paling paham soal peraturan dan keteraturan, malah menjadi biang dari semua kekisruhan yang terjadi. Tengoklah berbagai kasus korupsi yang terjadi belakangan ini. Terjadi pemerataan di semua institusi yang katanya merupakan pilar-pilar demokrasi. Eksekutif, legislatif, judikatif. Semua mencuatkan kasus-kasus korupsi yang terjadi di tubuh mereka sendiri. Bagaimana mungkin bisa membersihkan orang lain, jika tubuh mereka sendiri bergelimang kotoran?
Akibatnya, sebagus apa pun sistemnya, jika orang-orangnya bermental seperti ini, mudah ditebak. Kacau balau, carut marut dan serba berantakan. Bahkan seolah-olah 'sayur tanpa garam' jika sebuah isu di negeri ini tidak bermasalah. Tema otonomi daerah misalnya, yang dulu digembar-gemborkan sebagai upaya untuk mendorong kemandirian dan kemajuan daerah, ternyata tidak lebih dari sekedar upaya ambisius orang-orang tertentu yang ingin memperkaya diri sendiri dan menjadi raja-raja kecil di daerah. Birokrat menjadi semakin sulit dikontrol karena mereka berlindung di balik tameng otonomi daerah.
Orang tidak lagi peduli terhadap soal moral, soal kepantasan dsb. Urusan orang lain dirugikan, jika tak ada hubungannya dengan kepentingan kita, siapa peduli? Maka tak usah heran jika banyak persoalan yang kelihatannya bisa diselesaikan secara sederhana, ternyata memunculkan banyak masalah besar. Kita memang sudah terlalu terbiasa untuk membuat masalah yang gampang menjadi sulit. Bahkan ada semacam pemeo, 'Jika bisa dipersulit, kenapa jarus dibikin mudah?'. Sebuah sindiran yang sangat mengena untuk mengkritik (salah satunya) birokrasi yang seringkali berbelit-belit, demi menciptakan peluang 'mengais rezeki' yang lebih luas. Saya jadi teringat iklan sebuah produk rokok di televisi yang menggambarkan orang berseragam yang siap membubuhkan stempel, tapi nggak jadi-jadi, diselingi oleh berbagai aksi untuk memperlambat proses itu. Ngobrol dulu, terima telepon dulu, bahkan sempet-sempetnya gosok gigi dulu. Sementara orang yang menunggu terlihat capek, ngantuk dan akhirnya tertidur, saking bosennya menunggu surat-surat yang diperlukannya mendapat 'pengesahan' dari yang berwenang.
Ini sebuah cermin yang menyakitkan sekaligus memalukan. Di sisi lain, ini juga sebuah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Lalu? Harus ada sesuatu yang dilakukan. Entah apa. Saya tidak tahu, karena itu adalah porsi orang-orang pinter, dan saya bukan orang pinter. Lagipula, saya merasa tidak perlu melakukan apa-apa dalam hal ini, karena saya juga repot ngurusin soal perut keluarga yang harus dipenuhi. Saya sibuk!
Astaga! Tiba-tiba saya tersentak. Jangan-jangan ini yang terjadi pada semua orang! Masing-masing sibuk dengan urusannya sendiri dan tidak pernah menyisakan ruang sedikit pun untuk memikirkan orang lain. Bagaimana jika semua seperti ini? Siapa yang akan membela orang-orang yang terpinggirkan? Ya Tuhan, jangan-jangan otakku juga mulai rusak seperti bapak-bapak yang di atas itu! Jangan-jangan.....
0 Comments:
Post a Comment
<< Home