BUKA MULUT: Sebuah Catatan Masa Kecil

Close

 

Jangan Lupa

DAFTAR AGLOCO DI SINI!

Download Gratis!

FREE AGLOCO EBOOK di SINI!

December 22, 2006

Sebuah Catatan Masa Kecil

Saya dibesarkan dalam sebuah keluarga besar yang jauh dari berkecukupan. Masa-masa kecil dilalui dengan banyak keprihatinan. Sebagai sebuah keluarga sederhana, Bapak dan Ibu saya harus berjuang keras untuk membesarkan keenam anaknya. Yang paling saya ingat adalah semangat mereka terfokus pada satu titik: semua anaknya harus sekolah.
 
Tinggal di dalam sebuah lingkungan yang mayoritas belum terlalu mementingkan pendidikan, pandangan seperti ini jelas-jelas merupakan sebuah keajaiban. Sikap ini juga kerap dipandang aneh di kalangan tetangga. Makan dan berpakaian seadanya demi mementingkan sekolah, bukanlah pilihan favorit. Buat saya, pilihan ini selangkah lebih maju di depan rata-rata pemikiran banyak orang di sekitar kami.
 
Saya, yang saat itu belum begitu memahami sikap orang tua saya ini, sering bertanya-tanya. Kenapa sih kita beli baju baru cuma setahun sekali, saat lebaran? Itu pun kadang-kadang baju seragam sekolah. Kenapa sih nggak pernah dikasih uang jajan? Dan banyak lagi pertanyaan khas anak kecil lainnya. Jawabannya, "Ibu dan Bapak tidak punya harta untuk diwariskan kelak. Satu-satunya cara adalah membekali kalian dengan ilmu. Sekolah dulu yang rajin, nanti kalau sudah bisa cari uang sendiri, kamu bisa beli apa saja yang kamu mau."
Private Collection
Alhamdulillah, meski hidup dalam kondisi alakadarnya, saya dan saudara-saudara saya menikmati bangku sekolah. Ibu dan Bapak tak pernah mengeluh soal biaya sekolah kami, anak-anaknya. Padahal saya tahu persis, jika dikalkulasi secara matematis, gaji Bapak tidak akan cukup untuk membiayai kami. Bapak adalah seorang guru SD di kampung yang tidak mungkin ngobyek dengan cara mengajar di sekolah swasta misalnya. Di kampung kami tidak ada sekolah swasta, karena sekolah negeri saja masih kekurangan murid. Ibu saya seorang ibu rumah tangga yang baik. Beliau kadang-kadang berjualan apa saja untuk membantu Bapak.
 
Masa-masa sulit memang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan keluarga kami. Pernah suatu ketika Ibu menyuruh kami mengumpulkan buku tulis bekas yang sudah tidak terpakai. Ternyata kertas-kertas tersebut dijual untuk membeli beras. Ibuku juga pernah buka taman bacaan di rumah. Hasilnya lumayan untuk menambah kas keluarga. Keuntungan lainnya, kami anak-anaknya jadi keranjingan membaca. Ini tanpa disadari telah membuat kami memiliki pandangan yang lebih luas dibanding teman-teman sebaya kami.
 
Salah satu sifat Ibu saya kagumi adalah kecerdasan serta upayanya untuk sebisa mungkin melakukan sendiri apa yang bisa dilakukan dalam membesarkan kami. Beliau menjahit sendiri baju kami, padahal tidak pernah kursus menjahit. Dan itu dilakukan dengan tangan, karena kami tidak punya mesin jahit. Bayangkan, menjahit baju untuk enam orang anak! Akibatnya, Ibu sampai harus rela begadang, hanya agar anak-anaknya berbaju baru di hari lebaran.
 
Ibuku juga seorang jago masak. Tentu tidak dalam pengertian seorang koki di hotel berbintang. Tapi soal kreativitas, boleh diadu. Singkong, ubi jalar, diolahnya menjadi aneka kue yang enak-enak. Kulit singkong bisa disulapnya menjadi keripik, atau sayur pedas yang nikmat. Begitu juga daunnya. Nyaris tidak ada yang terbuang percuma. Pohon dan daun talas, juga diolah menjadi sayur yang nikmat. Lebaran atau hari raya lainnya, Ibu tidak pernah beli kue. Semuanya dibuat di rumah dengan melibatkan semua anggota keluarga.
 
Meski agak temperamental, Ibu sangat sayang dengan anak-anaknya. Kalau ada salah satu anaknya yang telat pulang, Ibu-lah yang selalu paling gelisah. Kalau anaknya sakit,Ibu yang paling terlihat khawatir, dan sibuk merawat kami sebisanya. Tapi kalau kami nakal, Ibu juga tidak sungkan untuk mencubit sampai berbekas merah di kulit. Saya bahkan sering dipukul kaki dengan sapu lidi, atau disiram air. Maklum, aku termasuk paling nakal di keluarga kami. Ini agak berbeda dengan Bapak yang berpembawaan lebih tenang. Beliau jarang marah kalau dirasa belum keterlaluan. Tapi sekalinya marah, semua tidak berkutik. Hanya Ibu yang berani melawan, biasanya untuk membela kami :-)
 
Satu hal yang paling berkesan dalam keluarga kami adalah kebiasaan makan bersama. Yang rutin dilakukan adalah pada malam hari, ketika semua anggota keluarga ada di rumah. Di 'forum' inilah biasanya kami ngobrol banyak hal, terutama soal aktivitas yang dilakukan seharian. Di sini juga kami berdebat, mengemukakan pendapat, sekaligus bercanda. Sebuah pendidikan ber-demokrasi dengan cara yang sederhana namun efektif. 
 
Dalam pandangan orang lain, kami mungkin bukan keluarga yang ideal. Apalagi dengan segala keterbatasan yang ada. Tapi buat saya, terlepas dari segala kekurangannya, hingga saat ini pola yang diterapkan kedua orang tuaku merupakan tipe yang paling ideal dalam membina keluarga. Saya belajar banyak hal dari sini. Intinya adalah, kekurangan materi tidak boleh membuat kita menjadi bodoh. Selalu ada seribu satu cara untuk menjadi pintar, tanpa harus kalah oleh keadaan.
 
Kini, Ibu dan Bapak sudah tiada. Namun semangatnya tetap hidup dan menjadi nafas dari hidupku. Masa-masa yang kami lalui adalah 'sekolah' tersendiri bagi kami anak-anaknya. Berbagai ilmu yang tidak diperoleh di sekolah formal, justru kami dapatkan di sini. Dan inilah bekal hidup kami, yang kami warisi dari mereka berdua. Bukan harta, bukan kekayaan, melainkan sikap dan semangat untuk menjalani hidup dengan cara yang terbaik. Semoga Ibu dan Bapak mendapat rahmat dan ampunan, sekaligus mendapat tempat terbaik di sisi-Nya. Amien ya Robbal 'alamin.
 
Tags: ,


Saatnya mendapatkan hak kita. Surfing dibayar. Referring temen juga dibayar. Daftar GRATIS! Di Agloco, nggak ada biaya tersembunyi. 100% GRATIS!!

0 Comments:

Post a Comment

<< Home